Cari disini data yang anda perlukan

Dukungan

Minggu, 30 Oktober 2011

Resensi: Memahami Manusia, Menggugat Psikologi


Judul buku: Psikologi Sains
Penulis: Abraham Maslow
Penerbit: Teraju
Cetakan I: Oktober, 2004
Tebal: xxxi + 228 halaman
PERTANYAAN dan pencarian jawaban tentang manusia pada dasarnya merupakan pertanyaan perenial (sepanjang waktu). Pertanyaan tentang hakikat, tujuan hidup, dan nilai manusia memiliki akar kuno yang panjang, yang mula-mula dikaitkan dengan refleksi para filsuf Yunani dalam menjawab pertanyaan tentang "Siapakah manusia?"
BEGITU pentingnya pertanyaan itu hingga menjadi diktum terkenal dalam filsafat Yunani dan dianggap melekat kepada filsuf besar, seperti Plato, Phytagoras, Thales, dan Socrates. Diktum yang menyatakan know thy-self (kenalilah dirimu) itu berarti bahwa untuk memahami alam semesta tempat manusia berada (makrokosmos) kuncinya justru berada dalam pemahaman tentang diri manusia (mikrokosmos).
Ikhtiar menjawab pertanyaan di atas tidak saja melahirkan banyak aliran filsafat yang berkembang dari masa Yunani sampai modern, tetapi juga melahirkan psikologi. Menjawab pertanyaan tentang siapakah manusia pada dasarnya adalah usaha memahami manusia. Psikologi, dengan demikian, dapat dipandang sebagai bentuk dari usaha memahami itu. Anehnya, dalam sebagian besar buku teks pengantar psikologi dan bahkan isi pengajaran tentang definisi psikologi sebagai ilmu pada tingkat sarjana, psikologi tidak didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha memahami manusia, tetapi ilmu yang mempelajari "perilaku".
Psikologi, berbeda dengan filsafat Yunani, lahir sebagai disiplin ilmu dengan pretensi besar untuk menjadi "ilmiah". Psikologi sebagai disiplin ilmu lahir di tengah kemajuan pesat ilmu pengetahuan alam (fisika, astronomi, dan kimia) serta laju perkembangan matematika. Standar kemajuan ilmu-ilmu alam itu membuat ahli-ahli psikologi pada awal perkembangannya sangat bernafsu mengadopsi paradigma dan serangkaian metode ilmu alam, yang dalam buku ini disebut sebagai paradigma sains, ke dalam psikologi. Pengadopsian yang kemudian menjadikan psikologi merasa menjadi dan merasa berhak menyandang label "ilmiah". Pretensi psikologi untuk menjadi ilmu perilaku yang "ilmiah" sampai hari ini tetap menjadi kebanggaan bagi ahli- ahli psikologi.
ABRAHAM Maslow, tokoh paling masyhur dari mazhab Psikologi Humanistik, dalam buku ini mengajukan pertanyaan retoris: " …andai saya ingin tahu lebih banyak tentang hakikat pribadi manusia-tentang Anda, misalnya, atau tentang orang lain tertentu-cara apa yang paling menjanjikan dan paling menghasilkan untuk dilaksanakan" (hal 13).
Ia menjawab bahwa paradigma sains yang diadopsi psikologi ortodoks sama sekali tidak memadai dalam upaya memahami manusia. Hal ini disebabkan paradigma sains memandang dunia dan manusia sebagai realitas atomistis (tersusun dari unsur-unsur yang lebih kecil dan dapat dipilah) dan mekanis (berjalan dengan kausalitas dan hukum alam yang tetap) sehingga melahirkan sikap yang reduksionis dalam sains.
Pandangan yang atomistis, mekanis, dan reduksionis dalam sains itu yang kemudian melahirkan pandangan tentang pengetahuan yang obyektif dan universal, pengetahuan yang diproduksi dari sikap ilmiah yang mengambil jarak dari obyek penelitiannya, tidak mencampur subyektivitas ilmuwan dalam penelitian, mengeluarkan topik-topik kajian yang tak teramati dan tidak ilmiah dari bidang kajian, hal-hal seperti kesadaran, imajinasi, nilai, moralitas, kemanusiaan, cinta, kasih sayang, dan sejenisnya (hal 22).
Paradigma sains tidak memadai sebagai landasan memahami manusia sebab manusia bukanlah obyek kajian yang atomistis dan mekanis sehingga setiap usaha mereduksi manusia sama sekali tak akan mengantarkan kita memahami manusia, justru menjauhkannya. Paradigma tandingan yang dikonsepsikan Maslow adalah paradigma yang inklusif dan humanistis (hal 3).
Paradigma pemahaman manusia ini berbeda dari paradigma sains yang atomistis, bersifat holistis, baik dalam pendekatan maupun metode analisisnya (hal 17). Keholistisikan paradigma ini ditandai dengan diterima dan dikajinya aspek-aspek manusia yang merupakan realitas lebih tinggi dari realitas nonmanusia yang menjadi obyek kajian sains, seperti kesadaran, cinta, dan kasih sayang. Ciri kedua dari paradigma humanis ini adalah memandang manusia sebagai sosok pribadi yang unik dan khas, anggota tunggal dari kelompoknya (hal 15).
Pandangan ini berbeda dari pandangan sains yang memandang realitas sebagai entitas tunggal, sejenis, yang dikendalikan oleh hukum alam mekanis. Implikasi paling penting dari pandangan ini adalah bahwa pengetahuan tentang manusia dengan demikian mengandung ciri keunikan masing-masing manusia yang dikaji, dan dengan demikian menjadikan generalisasi pengetahuan tentang manusia yang berusaha menjadi obyektif dan universal menjadi tidak masuk akal dan kontradiktif.
ANALISIS Maslow yang mungkin paling menarik dan menantang dalam buku ini adalah uraiannya tentang proses motivasional di balik kerja dua paradigma di atas. Paradigma sains yang mekanis dan bersifat tidak manusiawi berpretensi untuk mencapai ilmu pengetahuan yang kebenarannya bersifat obyektif, pasti, dan universal. Pengetahuan tentang manusia yang seperti itu tampak sebagai sebuah proses pengasingan dan keterasingan (alienasi) ilmu yang ilusif.
Maslow menyatakan, pandangan tentang manusia yang ilusif itu lahir dari ketakutan dan kecemasan para ilmuwan tentang sifat pengetahuan manusia itu sendiri. Sebab, "lebih dari jenis pengetahuan apa pun, kita takut akan pengetahuan tentang diri kita; pengetahuan yang mungkin mengubah diri kita; pengetahuan yang mengubah harga diri kita dan cinta diri kita" (hal 23). Pengetahuan tentang manusia menjadi menakutkan karena mungkin akan menunjukkan kelemahan, kenaifan, dan ketidakberdayaan manusia.
Ketika Sigmund Freud, pelopor psikoanalisis, menunjukkan proses pengaruh bagian ketidaksadaran dan bawah sadar manusia justru sangat dominan dalam dinamika psikis manusia yang dianggap rasional oleh filsafat modern, manusia kemudian tampak sebagai makhluk yang irasional, dikendalikan ketidaksadarannya, dan yang lebih mencemaskan, menurut Freud, perilakunya dituntun oleh insting, variabel psikis yang tak terkendalikan oleh kesadaran.
Ketakutan itu pula yang menurut Maslow menjadikan paradigma sains dalam psikologi menolak memasukkan dan membuang aspek manusia yang tidak dapat diindra, menganggapnya sebagai omong kosong. Ketika kerja paradigma sains dalam psikologi didorong oleh kecemasan dan ketakutan yang terjadi adalah munculnya "mekanisme pertahanan" freudian (untuk meredakan kecemasan sambil masih mencari kegembiraan) (hal 32). Proses kerja sains yang neurotis inilah yang disebutnya sebagai patologi kognisi (hal 33). Kerja ilmu pengetahuan yang dilandasi motivasi kekurangan ini kemudian melahirkan pengetahuan tentang manusia yang reduktif dan berilusi tentang kepastian dan obyektifitas.
Kecemasan dan ketakutan manusia akan aspek-aspek dirinya yang tidak tampak, dominan, dan berada dalam ketidaksadaran memang tidak mungkin dapat dielakkan atau dianggap seolah- olah tidak ada. Namun, Maslow menyatakan bahwa kecemasan dan ketakutan itu dapat dihadapi dengan sehat, tanpa kecemasan dan ketakutan yang neurotis. Mekanisme kerja ilmu pengetahuan ini yang disebut Maslow sebagai paradigma humanis "mekanisme penanggulangan" (untuk pemecahan masalah kehidupan yang positif, berani, dan mencapai kemenangan dalam tiadanya kecemasan atau dengan melanggarnya) (hal 32).
Operasionalisasi paradigma humanis adalah dengan melakukan metode pemahaman yang reseptif. Reseptivitas yang dimaksud Maslow adalah reseptivitas sejati dari jenis Taoisme, sebuah tindak untuk mampu mendengarkan-mendengarkan dengan serius, menyeluruh, pasif, dan mengesampingkan diri- tanpa mensyaratkan, mengelompokkan, dan mengesampingkan diri-…tanpa asosiasi bebas… (hal 138-139).
Maslow menggambarkan sikap reseptif dalam kerja ilmu pengetahuan ini seperti proses seorang anak mencari pengetahuan: dengan mengalaminya secara konkret, intens, terserap, terpukau, terbelalak, dan terpikat. Sebuah proses subyektif yang tercapai melalui peleburan antara pengenal (knower) dan apa yang hendak dikenali. Dengan demikian, maka "… ketakutan, kecemasan, kemarahan, dan ketidaksabaran adalah musuh dari reseptivitas…" (hal 139).
Penerjemahan buku Maslow yang berjudul Inggris The Psychology of Science dan terbit pada tahun 1966 ini menjadi sangat penting bagi publik psikologi di Indonesia. Tidak saja karena di Indonesia paradigma sains masih sangat diyakini layaknya ideologi, lebih dari itu, dominasi paradigma sains dalam psikologi menjadi begitu kuat karena psikologi di Indonesia adalah importir utuh (completely built up) dan perakit aktif teori, konsep, dan desain penelitian psikologi yang sebagian besar berasal dari pusat psikologi berparadigma sains di Amerika.
Gagasan-gagasan Maslow dengan demikian mungkin dapat menjadi inspirasi awal bagi usaha pengembangan psikologi yang lebih komprehensif dan holistik dalam memahami manusia, khususnya manusia Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar